SELAMAT DATANG DI SOLUSI HUTANG

Metoda Memulyakan Anak Yatim dan Memulyakan Orangtua

Solusi Hutang : Metoda Memulyakan Anak Yatim dan Memulyakan Orangtua



السـلام عليكم ورحمة اللـه وبر كـاته

ان الحـمد للـه نحـمده ونستعـينه ونستغفـره ونعوذ باللـه من شـرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده اللـه فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لا اله الا اللـه وأشهد أن محمدا عبده ورسـوله. اللـهم صـل على محمد وعلى اله وصحبه ومن تبعهم باءحسان الى يوم الدين.
Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Illahi robbi yang mana pada kesempatan ini masih diberikan ni'mat iman dan Islam, Sholawat serta salam mari kita curahkan kejunjunan alam Syaidina wa Maulana Muhammad bin Abdillah semoga kita diakui menjadi ummatnya dan mendapat syafaat dunia dan akhirat, kepada Keluarga beliau, shabat beliau dan kerabat muslimin muslimat sampai akhir zaman.

Sahabat Solusi Hutang (SSH), Keutamaan Memuliakan Anak Yatim.  Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.
Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang lainnya?” 
Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli pakaian baru.” 
Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?” Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah tirinya telah mengusirnya dari rumah. 
Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?” 
Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian yang layak untuknya.
Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya. 
Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW. 
Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya. Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku harus hidup sebatangkara lagi?” 
Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya. “Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).
Hikmah yang kita dapatkan dari kisah ini adalah sebagai seorang muslim kita harus perduli terhadap anak yatim sebagaimana yang di contohkan Rasulullah SAW, Beliau sangat mengasihi dan menyayangi anak-anak yatim. Anak yatim adalah titipan Ilahi dan kita semua bertanggung jawab untuk memuliakan mereka dengan sebaik baiknya. Keperdulian kita bisa dilakukan dengan memelihara & merawat mereka dengan penuh kasih sayang ataupun menyantuni mereka dan memenuhi semua kebutuhan mereka seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan pendidikan
Rasul SAW sangat membenci orang-orang yang menelantarkan anak yatim. Dalam Alquran, Allah SWT mengecam orang-orang yang suka menghardik anak yatim, dan enggan memberi makan fakir miskin. Allah menyebut mereka itu sebagai pendusta agama. (QS al-Ma’un [107]: 1-7).


Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا » وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya[1].


Sahabat Solusi Hutang (SSH), Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].
Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar[3].
Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[4].
Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[5].
Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya[6].
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” 
(QS al-Ahzaab: 5).


2. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[7].

3. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram[8], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.

Sahabat Solusi Hutang (SSH), Metodnya Memulyakan Anak Yatim ini adalah
1.  Mewajibkan Menyumbang Anak Yatim  Setiap Hari
2. Jumlah Uang Yang di Berikan di  kumpulkan dan dibagikan pada hari Jum'at Setealh Shalat Subuh Langsung.
Contoh : Kita Punya uang untuk Anak Yatim Sehari Rp. 5000,- jumlah Seminggu : Rp. 35.000,- kemudian dibagikan Jumlah Anak Yatim di Lingkungan kita misal 5 Orang Maka Per anak mendapat jatah perminggu Rp. 7.000,- Nah Hal ini dilakukan rutin tidak boleh lupa atau dilupakan karena bisa berakibat kurang baik terhadap kerejekian kita. Ketika Penghasilan kita makin banyak maka tingkatkan lagi santunannya.
3.  Meminta Do'a Orangtua serta Mumalyakannya seperti dengan Hartanya, Tenaganya dan Fikirannya untuk kebahagiaan Kedua Orangtua.

Kita sebagai Penyantun Akan Allah Cukupi segala keperluannya sebagaimana bahagianya anak yatim yang kita santuni tersebut. 
Dan Do'a Orang tua adalah untuk mempercepat diijabahnya do'a do'a kita karena Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Beliau kembali menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya: “Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” tanyanya. “Ayahmu.” Jawab beliau. [8]

Hadits diatas tidak bermaksud lebih mentaati ibu daripada ayah. Sebab, mentaati ayah lebih di dahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dibolehkan dalam syariat. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan untuk taat kepada suaminya, yaitu ayah anaknya. Hanya saja, jika salah seorang mereka menyuruh berbuat taat dan yang lain menyuruh berbuat maksiat, maka wajib untuk mentaati yang pertama.

Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu yaitu lebih bersikap lemah lembut, lebih berprilaku baik dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini apabila keduanya berada di atas kebenaran.
Metoda ini saya dapat dari Habib Husain Al-Attas Sukabumi

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Disadur dari Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
[1] HSR al-Bukhari (no. 4998 dan 5659).
[2] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).
[3] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113).
[4] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/689).
[5] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113) dan “Faidhul Qadiir” (3/49).
[6] Ibid.
[7] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi” (14/119).
[8] HR.Al Bukhari (5971) dan Muslim (2548) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...